Oleh: Zahra Aliyya
Satya meletakkan pulpennya di atas meja. Lembar buku yang awalnya bersih, kini telah terisi oleh segala coretan hasil kerja otaknya selama satu jam. Ia menyandarkan punggungnya yang terasa kaku kemudian tersenyum saat menoleh ke samping jendela, menatap derasnya hujan di luar. Lelaki ini memang sangat menyukai hujan, karena kerasnya suara hujan yang selalu menemani kesunyian di rumahnya.
“Satya, kamu mau pulang atau bermalam di perpus?” ucap Jay yang kini berjalan ke arahnya.
“Betah banget kamu di sini, mana tinggal sendiri lagi,” timpal Azka bergidik ngeri.
Suasana perpustakaan saat ini memang terkesan menyeramkan, apalagi di sini sudah tidak ada orang yang tersisa selain mereka bertiga. Suhu udara juga terasa lebih dingin dari biasanya akibat hujan di luar sana. Beruntungnya ini masih pukul enam sore, dan masih ada beberapa guru yang tinggal, jadi area sekolah pun belum tertutup rapat.
Satya tersenyum melihat kedatangan kedua temannya. Ia merapikan barangnya di atas meja dan bergegas bangkit dari kursi. Dengan cepat Azka merangkul erat tangan keduanya, dan memosisikan diri berjalan di tengah. Kakinya bergerak cepat menyusuri koridor sekolah. Sehingga membuat langkah Jay dan Satya seirama dengan miliknya. Jay hanya menggeleng pelan. Azka ini lelaki yang paling kuat tenaganya saat menghantam orang, tapi ia juga gampang takut akan hal sederhana. Ia juga berbanding terbalik dengan Satya. Kalau Satya si penyuka hujan, maka Azka adalah si pembenci hujan.
Kini ketiganya telah sampai di depan sekolah. Azka mengeluarkan payung lipatnya dari tas, karena ia tidak pernah menyukai hujan, jadi payung lipat akan terus bersarang di dalam tasnya. Jay juga membuka tasnya dan mengeluarkan dua payung lipat. Ia memberikan satunya pada Satya, karena Jay tahu kalau temannya ini tidak pernah membawa payung.
“Pakai Sat, kamu gak capek apa dengar omelan bunda setiap basah-basahan pulang?”
Satya mendengus kecil mendengar penuturan Azka. Memang sudah sesering itu Satya pulang dengan keadaan terbasuh hujan. Selain karena ia suka berada di bawah hujan, dirinya juga selalu lupa membawa payung. Ia mengambil payung dari tangan Jay dan berteduh di bawahnya. Kini ketiganya telah berjalan dengan tenang di bawah payung masing-masing. Sesekali juga Satya mengulurkan tangannya keluar dari lingkup payung, merasakan tetesan hujan yang sangat ia sukai.
Mereka bertiga memang jarang menggunakan kendaraan pribadi untuk ke sekolah. Bukan karena tidak mampu, tapi karena rumah ketiganya berada di kompleks yang sama dan tergolong dekat dari sekolah. Awalnya Azka menolak ajakan temannya untuk jalan kaki ke sekolah, karena merasa sayang saja jika motor kerennya hanya terpajang di garasi rumah.
Hingga suatu hari Bunda Nara, ibu dari Azka, melihat Jay dan Satya berjalan kaki ke sekolah, dan terjadilah perdebatan kecil antara ibu dan anak lelakinya itu. Sang bunda tidak lagi memberikannya uang bensin, ia meyuruh Azka untuk ikut jalan kaki bersama temannya agar lebih menghemat keuangan keluarga. Daripada uang jajannya juga ikut dipotong, Azka lebih baik menuruti kemauan bundanya.
Satu sekolah bahkan satpam hingga guru yang lewat pun bingung. Kalau biasanya, motor Azka Abimanyu pasti akan memasuki gerbang satu menit sebelum ditutup, tapi yang mereka lihat saat itu adalah seorang Azka yang berjalan kaki masuk gerbang sekolah tiga puluh menit sebelum bel berbunyi. Jay adalah orang pertama yang tertawa saat Azka sampai di sekolah tanpa motor untuk pertama kalinya. Padahal Azka sendiri yang menolaknya untuk jalan kaki waktu itu. Hingga sampai saat ini, mereka jadi jarang menggunakan kendaraan. Azka juga jadi berpikir kalau ke sekolah dengan jalan kaki itu tidak begitu buruk ternyata.
Kini ketiganya telah sampai di depan kediaman Abimanyu. Azka mengetuk pintu dan mengucap salam. Bunda Nara tersenyum, ia menyambut ketiganya dengan hangat. Senyumannya semakin mengembang saat melihat seragam yang dipakai Satya terlihat kering. Bundanya Azka tahu, sesuka itu Satya dengan hujan sampai ia tidak takut sakit ketika terguyur di bawahnya.
“Bunda hari ini masak apa?” tanya Jay
Memang sudah sedekat itu pertemanan ketiganya. Bahkan bundanya Azka sendiri yang meminta Jay dan Satya untuk memanggil dirinya dengan sebutan bunda. Azka yang anak tunggal juga setuju saja, ia jadi bisa merasakan rasanya memiliki saudara.
“Bunda masak sup daging, kalian cuci tangan dulu sana” Balasnya yang diikuti anggukan ketiganya.
Mereka berempat makan di satu meja dalam keadaan senyap. Peraturan yang bunda tentukan memang tidak boleh berisik saat sedang makan. Walau itu tidak berlaku untuk Jay dan Azka yang beberapa kali bercerita. Mereka berdua juga sempat berebut bakso terakhir yang berakhir di piring Satya, akibat bunda yang menengahi.
Satya memang lebih kalem dari kedua temannya. Sikapnya tenang dan tidak banyak tingkah. Di sekolah pun banyak orang yang segan dengannya, karena Satya tipe laki-laki yang jarang tersenyum. Untuk melihat Satya senyum, dirinya harus bersama Jay dan Azka terlebih dulu, maka tertawa pun tidak mustahil ia lakukan.
***
Kini ketiganya telah berada di kamar Azka. Hujan di luar juga belum berhenti sedari tadi, dan malah makin deras saja menurut Azka. Satya yang menyukai hujan kini duduk melantai di samping jendela kamar. Untung saja lantai kamar Azka tertutup sempurna oleh karpet bulu, jadi tidak akan ada kaki yang kedinginan begitu menapak pada lantai kamar ini.
Jay meletakkan bantal kepala di samping Satya, dan membaringkan badannya. Azka masuk membawa tiga gelas latte di atas nampan. Kini mereka sudah melingkar beralas karpet kamar. Tidak ada yang membuka suara, mereka telah berada di dunianya masing-masing. Satya yang melamun menghadap keluar jendela, Jay yang sekadar berbaring sambil memejamkan mata dan Azka yang asik dengan telepon genggamnya.
“Sat, hari inikan ulang tahun ibu kamu, nggak mau ngunjungin?” ucap Jay memecah keheningan.
Perhatian Satya teralih, ia menatap Jay yang kini mengubah posisinya untuk duduk. Ia mengambil latte yang telah Azka siapkan dan meneguknya.
“Rencananya sih gitu, tapi hari ini ayah pulang. Dia bisa marah kalau lihat aku nggak ada di rumah,” balas Satya.
Azka meletakkan ponselnya. Soalnya ia selalu ingat kalau bundanya pernah bilang jika ada orang yang berbicara jangan mengalihkan pandangan darinya. Apalagi sampai memainkan ponsel, itu tidak sopan.
“Jam berapa dia pulang?”
“Jam delapan malam ini,” jawab Satya menyesap latte-nya.
“Kamu mau kita temenin?” tanya Azka
Satya hanya terkekeh kecil mendengar penuturan Azka dan menggeleng. Padahal ia hanya akan bertemu ayahnya sendiri, tapi nada suara Azka tadi terdengar sangat khawatir.
“Nggak usah khawatir gitu, kalian kan juga udah masang kamera tersembunyi di banyak sisi,” ucap Satya melembut.
Azka dan Jay menghela napas pasrah. Mereka berdua selalu menyukai apapun perkataan yang Satya lontarkan. Nada bicaranya selalu lembut dan menenangkan, Satya juga sabar, ia tidak pernah menghakimi seseorang, jarang berteriak, jarang mengumpat apalagi membentak dengan kasar. Tidak heran saat ia diangkat menjadi ketua OSIS dan menjadi panutan para siswa, karena semua yang ada pada diri Satya adalah definisi sempurna, mulai dari fisik hingga sifatnya.
“Aku tetap gak tenang, Sat,” balas Jay.
Satya hanya tersenyum dan mengelus tangan Jay pelan. Jay tahu, temannya ini berusaha meyakinkan kalau semuanya akan baik-baik saja. Azka membisu, lima tahun mereka berteman dan selama itu juga, tidak ada rahasia di antara ketiganya. Mereka saling percaya dan selalu ada untuk satu sama lain. Ketiganya juga hanyalah anak remaja SMA yang baru berusia delapan belas tahun, tapi ketiganya harus didewasakan oleh keadaan.
***
Kini jam dinding telah menunjuk pada pukul setengah delapan malam. Satya meneguk ludahnya. Tinggal setengah jam lagi maka ia akan bertemu ayahnya. Ayahnya memang sangat jarang pulang karena alasan pekerjaan. Padahal kalau dirinya pikir, tidak bekerja pun kekayaan ayahnya saat ini bisa cukup sampainya tua nanti. Ayahnya selalu mengirimkan Satya uang setiap bulan dalam jumlah yang besar, hingga membuatnya muak. Ia tidak butuh semua uang itu, ia hanya memerlukan peran orang tua di hidupnya. Uang di rekeningnya juga sangat banyak dan jarang ia gunakan. Mungkin kalau seluruhnya terkumpul bisa cukup untuk membeli mobil.
Bel pintu utama terdengar jelas dan para pembantu pun segera membukanya. Kini Satya telah duduk di sofa ruang tengah rumahnya. Sosok tinggi berjalan pelan ke arah ruang tengah tempat Satya berada. Sosok yang ia panggil ayah kini duduk di sofa depannya. Satya menundukkan kepalanya, ia tidak berani menatap ayahnya.
“Angkat kepalamu Satya Altara, beritahu saya laporanmu kali ini,”
Ia ingin menghilang saja begitu mendengar suara ayahnya. Satya menarik napas panjang dan menghembuskannya pelan. Ia mengangkat wajahnya. Netranya bersitatap dengan netra sang ayah.
“Satya tidak memiliki catatan jelek dari sekolah semester ini, saya berhasil bertahan di peringkat satu paralel, saya meraih medali emas dalam kompetisi sains nasional, saya menempati juara satu jurnalistik mewakili sekolah.”
“Hanya itu?” ucap sosok di depannya. Satya mengangguk sebagai jawaban.
Sinting.
Itu adalah umpatan yang diberikan Jay dalam hati, karena saat mereka berada di rumah Azka tadi, Jay memang menyuruh Satya untuk meletakkan ponsel yang tidak jauh darinya dalam keadaan menelepon ponsel milik Jay. Dengan begitu Jay yang bersama dengan Azka sekarang, bisa mendengar pembicaraan mereka dengan lebih jelas.
Azka mengepalkan tangannya, ia benar-benar tidak mengerti dengan isi kepala ayah Satya. Tidak memberi kasih sayang tapi meminta limpahan prestasi, itupun semua yang telah Satya lakukan seperti tidak ada apa-apanya. Tuan Altara tidak tahu saja kalau anaknya hampir gila karena tuntutan yang mengharuskannya sempurna. Ia tidak pernah tahu jatuh bangunnya Satya, ia tidak tahu betapa sulit semua proses yang telah putranya lewati. Ayahnya juga tidak pernah melihat kacaunya kamar Satya setiap hari. Jangankan masuk ke kamar anaknya, mengucapkan kata selamat malam saja harus digantikan peranannya oleh Jay dan Azka. Hening tercipa, mereka berdua kini menatap ponsel Jay yang senyap di seberang sana.
“Saya sudah menikah lagi, untuk itu saya ingin kamu ikut tinggal dengan istri saya dan adik baru kamu.”
Azka syok. Tangan Jay sudah memerah akibat mengepalkannya terlalu kuat. Sungguh keduanya ingin sekali menerobos masuk ke dalam kediaman Altara sekarang.
Satya membeku, tangannya bergetar hebat. Kini matanya sudah memerah menahan agar air matanya tidak jatuh. Satya tidak pernah tahu akan pernikahan kedua ayahnya. Bahkan ia selalu mengira kalau ayahnya jarang pulang adalah karena membencinya. Ternyata Satya salah, memang dari awal ayahnya telah menemukan tempat pulang yang lebih nyaman baginya. Satya tersenyum kecil dengan air mata yang sudah berada di pelupuk.
“Apakah adik baru… sudah tumbuh dengan baik?” ucapnya.
Sang ayah terdiam. Ia tidak pernah melihat tubuh Satya yang bergetar juga mata anaknya yang sudah berkaca-kaca, tapi hebatnya belum ada air mata yang jatuh.
“Ayah… ayah tidak lupa untuk mengucapkan adik selamat malam, tiap hari kan?”
Suara Satya benar-benar bergetar seperti tubuhnya sekarang. ia mengatur napasnya yang mulai berantakan. Netranya kembali menatap sang ayah. Lalu tersenyum kecil.
“Ayah…ayah pulang ke rumah dalam setahun saja mungkin bisa dihitung jari. Dulu saya selalu mengira kalau ayah jarang pulang adalah karena membenci saya. Tapi kini saya sudah tahu alasan lainnya, saya berterima kasih karena ayah sudah jujur. Uang di rekening saya masih sangat banyak tapi saya lebih butuh sosok orang tua daripada seluruh uang yang telah ayah kirim. Satya masih memiliki ayah di sini, tapi mengapa saya selalu merasa telah kehilangan kedua orang tua sekaligus?”
Satya mengatur napasnya yang berantakan, ia tidak peduli kalau air matanya akan terjun bebas nanti. Ia tidak peduli kalau ayahnya berpikir putranya ini adalah seorang yang lemah karena menangis. Satya hanya ingin mengungkapkan keadaannya yang tidak baik-baik saja saat ini. Hanya sekali, agar setidaknya ayahnya tahu.
“Satya izinkan ayah untuk bahagia di mana pun itu, ayah bisa tinggalkan Satya di sini dan pergi ke keluarga baru ayah. Bukankah selama ini juga begitu? Selama ini saya sudah menuruti semua keinginan ayah, tapi tolong biarkan Satya egois sekali ini saja. Di sini ada Bunda Nara, ada Azka dan Jay. Juga ada rumah ini, hanya di sini kenangan Satya bersama Ibu. Mungkin kalau ayah jauhkan semua ini, saya akan lebih hancur dari sekarang.”
Satya mengambil ponsel di sampingnya dan bangkit dari duduk. Ia melihat ayahnya yang kini membisu. Di seberang sana Azka sudah menggigit bibirnya agar tidak melontarkan umpatan. Jay hanya terdiam, ia tahu kalau keadaan Satya saat ini sangat kacau. Keduanya terdiam menunggu kalimat selanjutnya dari seberang.
“Ayah boleh kesini kapan pun itu, ini rumah ayah juga. Jaga dengan baik tante dan adik baru di sana, ya? Maaf Satya mau tinggal disini saja,” ucap Satya tersenyum dan menarik napas panjang.
“Ayah… Satya ingin dengar selamat malam dari ayah.”
Keluar sudah berbagai umpatan dari mulut Azka yang di tujukan untuk ayah Satya. Ia tidak peduli kalau suaranya ini akan terdengar dari ponsel Satya. Demi Tuhan, Azka sangat geram saat ini. Jay membekap mulut temannya. Dari ponselnya kini hanya terdengar suara motor yang dipanaskan, dan tidak ada lagi suara dari seberang telepon, Satya sudah menutup panggilannya.
Jay bergegas menarik Azka dan mengambil kunci motornya. Suara motor yang dipanaskan terdengar jelas dari telepon tadi. Satya pasti telah pergi keluar dari rumahnya. Jay menyalakan motornya setelah satpam membukakan pagar rumah, ia membonceng Azka di belakang dan melaju dengan kecepatan maksimal.
Kini Satya tersenyum menatap makam ibunya. Ia bersimpuh dan mengusap pelan nisan sang ibu. Hancur sudah pertahanan dirinya. Sedari tadi ia sudah menahan agar air matanya tidak tumpah, tapi saat ini ia tidak bisa menahan semuanya lagi. Satya menangis keras depan makam. Satya tidak kuat, ia sangat lelah dengan jalan hidupnya. Satya menjadi panutan satu sekolah, ia menyanggupi seluruh lomba padahal dirinya juga sibuk mengurus organisasi, entah berapa kali dia tertidur di perpustakaan, entah berapa stok vitamin yang ia habiskan untuk mengganti stamina tubuhnya, entah sudah berapa bungkus tisu yang ia pakai untuk menghapus darah mimisan. Hanya untuk memenuhi semua ekspektasi ayahnya. Tuhan, Satya capek.
“Ibu maaf, Satya malah nangis di hari ulang tahun ibu.”
Jay menghentikan motornya di depan gerbang masuk area pemakaman. Dugaan Jay benar, tempat mengadu Satya hanya pada makam ibunya. Jay mengingat jelas dua tahun lalu saat ia temukan Satya persis seperti saat ini, bersimpuh di depan makam ibunya. Satya yang dingin dan ambisius di mata orang-orang, menjadi orang yang sangat lemah sama seperti sekarang. Pada saat itu Jay dan Azka belum tahu permasalahan yang dialami temannya ini, tapi mereka jadi tahu ketika tidak sengaja melihat punggung telanjang Satya. Punggung yang telah tercetak banyak bekas luka cambuk. Luka yang ayahnya torehkan setiap kali Satya tidak memenuhi ekspektasinya. Itulah mengapa mereka memasang kamera kecil di banyak sisi dalam rumah Satya, gunanya sebagai bukti apabila ayah Satya telah melewati batas.
Jay terdiam menatap Azka yang kini telah berjalan kearah Satya. Azka menarik naik lengan Satya dengan tiba-tiba, membuat dirinya refleks berdiri. Ia kaget melihat Azka dan Jay yang kini berada di hadapannya, Satya berusaha menghapus air matanya yang tumpah, tapi Azka menahan gerakan tangannya.
“Keluarin aja, semua orang berhak nangis kapanpun itu. Kalau nggak pernah nangis, psikopat Namanya.”
Satya terkekeh kecil meski masih dalam keadaan terisak. Azka mengembuskan napasnya pelan dan tersenyum kecil. Ia tidak ingin tawa sahabatnya ini menghilang, jadi sebisa mungkin dia membuat candaan kecil yang terselip di kalimatnya. Jay mendekat dan memberi usapan ketenangan pada punggung Satya.
“Makan seblak yuk, gue traktir” Ucap Jay
Tidak ada yang berubah dari kalimat Jay. Dua tahun lalu setelah mereka menemukan Satya di area pemakaman, ketiganya juga berakhir makan seblak. Soalnya Satya pernah bilang, kita tidak akan dianggap aneh saat menangis di depan makanan pedas.
***
Azka turun dari jok belakang saat Jay selesai memarkirkan motornya di pekarangan rumah Satya. Mereka memang berencana tidur di kediaman Altara malam ini. Pembantu kediaman membukakan pintu untuk ketiganya. Rumah besar ini sangat senyap, dan sepertinya sudah tidak ada lagi tanda kehadiran Tuan Altara disini.
Dugaan mereka benar, para pembantu mengatakan kalau tuannya langsung pergi setelah berbicara dengan putranya tadi. Kini mereka telah masuk ke dalam kamar Satya. Azka mengempaskan tubuhnya di kasur. Jay mengedarkan pandangannya ke penjuru kamar. Ruangan ini sangat luas dan bernuansa elegan. Di kamar Satya, juga terdapat banyak piringan hitam dengan berbagai jenis musik. Pada dasarnya Satya memang menggemari musik, dan musik baginya adalah pereda stres yang paling ampuh.
Jay merebahkan dirinya di sofa kamar. Ia membuka ponselnya dan tersenyum. Jay mendapat sebuah pesan dari kedua orang tuanya yang akan pulang dalam waktu dekat ini. Orang tua Jay mempunyai perusahaan besar yang mereka kelola, dan tak jarang keduanya pergi ke luar negeri karena perjalanan bisnis, sehingga jarang untuk mereka berada di rumah bersama putra semata wayangnya ini. Meskipun begitu, Jay tetaplah prioritas di tengah kesibukan kedua orang tuanya. Mereka senantiasa berkabar satu sama lain sehingga masih terasa kehangatan dari sebuah keluarga.
Di antara mereka berdua memang hanya Jay yang masih memiliki orang tua yang lengkap. Ayah Azka meninggal saat ia di bangku SMA kelas satu. Sedangkan ibu Satya meninggal saat putranya berusia lima belas tahun. Ayah Azka adalah seorang tentara yang meninggal saat bertugas di hari turunnya hujan. Itulah alasan mengapa Azka membenci hujan, karena hujan selalu mengingatkannya pada hari kematian ayahnya. Azka harus menguatkan pundak untuk bundanya dan Satya harus berdiri sendiri tanpa keduanya. Jay tersenyum menatap kedua temannya yang saat ini lagi berebut Nintendo. Keadaan Satya telah jauh lebih baik dari sebelumnya. Semua itu berkat Azka dan Jay yang banyak menghiburnya sedaritadi. Azka juga pernah berkata asal mereka selalu bersama, semuanya akan baik-baik saja dan perkataan itu benar, segala permasalahan juga keresahan mereka di masa remaja ini telah banyak yang terlewati dengan baik, karena mereka punya satu sama lain. Cukup bertiga, tidak kurang, dan tidak lebih.[]