Oleh: Andi Nurul Aliyah Haris
Lagi, ia bangun terlambat pagi itu. Rotterdam mendecak pelan mendapati alir air yang turun dari keran westafel bak donat depan kompleks saat ia pesan menggunakan voucher potongan harga, kecil. Dengan terburu, pemuda itu bergerak menyambar kaus putih empunya di lemari, berlalu dan menyerempet benda sekitar demi meraih flannel kotak hitam juga kaus kaki yang sedikit kekuningan di atas laci samping kasur. Usai berkemas, Rotterdam berlari menuju pintu, menarik kenopnya kasar dan melengos keluar tanpa membersihkan alat setrika pada lantai yang ia pakai sebelumnya.
Langkahnya kencang, ia berjalan menyusuri anak tangga seperti karakter fiksi terkenal empu Disney, Cinderella, melangkah melalui ruang tengah dan ruang tamu sebelum kemudian berhenti dan duduk di lantai teras, memasang sepatu yang usai ia sambar, pada masing kakinya. “Kenapa nggak dibangunin, sih?” Masih dengan mengikat tali sepatu, Rotterdam mendongak, menatap kesal sosok lain yang terduduk tak jauh darinya.
Sosok yang semula fokus menatap ponsel itu ganti menoleh, balas memandang yang sebelumnya berceloteh. Ia mengangkat sebelah tangannya yang menggenggam ponsel dengan layar setia menyala, memutar sebuah video dari aplikasi galeri yang durasinya bahkan tak sampai setengah menit. 13 detik video tersebut hanya diisi gema teriak seorang pemuda, menyerukan kata Rotterdam, ayo, dan bangun, berulang kali. Sedang gambarnya menunjukkan sosok di balik selimut yang tak berkutik, seolah tuli akan setiap panggilan yang berusaha membuatnya bangun.
“Udah.”
25 detik sejak melontarkan pertanyaan, Rotterdam berakhir mendapat jawaban. Pemuda itu memutar mata malas. Ia lantas berdiri dari duduknya, berlalu masuk ke mobil dan meninggalkan Akkarena yang setia duduk dengan wajah mengejek.
“By the way, maskermu kebalik, Dam!” teriak yang ditinggal.
***
“Oke, kamu fokus aja ngapalin materinya. Soal Power Point, itu bagian aku.”
Rotterdam mengangguk kecil. “Makasih, Ka.”
Yang disebut ‘Ka’ balas mengangguk “Kalau gitu, aku duluan. Kita ketemu lagi di Zoom nanti, pas presentasi.” Sosoknya beranjak, berjalan menjauh, melangkah keluar dari kedai kopi yang sejak 2 jam lalu menjadi tempat berteduh keduanya—mengerjakan tugas kelompok dari sekolah.
Sepeninggal Aska, Rotterdam di meja samping jendela itu memandang kosong layar ponsel di antara jemarinya. Berkedip hanya saat maniknya mulai terasa perih, ia termenung bak seorang pengangguran yang resah memikirkan hari esok.
“Pst,”
Tersadar, Rotterdam menoleh cepat ke arah kirinya, sesaat kemudian menghela napas mendapti sosok di sana.
“Brother Dam! Whats uuuup?!”
Rotterdam menutup mata, berusaha menghalau bising dengan pejaman netranya.
“Reza, berisik!” tegur yang datang bersama, menatap sangsi yang dimarahnya.
“Eh duduk Mo,” menunjuk-nunjuk bangku kosong di depan Rotterdam, seorang pemuda yang dipanggil Reza sebelumnya lantas mengambil tempat di samping yang wajahnya menekuk.
“Hai, Dam!” sapa Tomo, yang duduk di seberang. “Kamu ngapain di sini? Akkarena mana?”
Rotterdam yang sempat menunduk itu ganti mendongak, menatap yang bertanya. ”Ngerjain tugas kelompok. Akkarena latihan.”
Sebelah alis Tomo terangkat. “Oh, ya? Akkarena… berangkat kapan? Aku lihat, dia kayaknya makin sering latihan deh akhir-akhir ini.”
Rotterdam terpaku. Kapan berangkat? Sebagai seorang atlet, dirinya dan Akkarena tentu banyak mendengar pertanyaan tersebut selain dari pertanyaan ‘juara berapa?’ sepulang dari berlomba.
“Tanggal 21.”
“Hah?!” Sosok tampan dengan rambut cokelat gelap di sebelahnya kembali berseru, membuat Rotterdam mengernyit kecil. Telinga aku, batin Rotterdam.
“Masa, sih? Beneran deh, si Akkarena! Kebiasaan banget kalau ada apa-apa suka nggak ngomong.” Yang berkacamata dengan rambut hitam bergelombang menimpali, mendapat anggukan dari Reza—si rambut cokelat—kemudian.
Hening.
Menoleh pada jendela besar di sisi lain Rotterdam, Reza berkedip. “Dam, yang di parkiran, mobil kamu kan?”
Rotterdam mengernyit, ikut mendelik pada sebuah mobil sedan hitam yang diparkir tidak lurus pada tempat parkir kafe.
***
“Reza, kamu ngapain sih duduk di belakang juga?! Sempit tau!” Rotterdam bergeser paksa kala seorang pemuda mendesak masuk, hendak duduk di sampingnya.
“Bunda aku tuh bilang, COVID kayak gini harus jaga jarak. Aduh, Mo, kaki kamu nginjek sepatuku! Misi!” Reza setengah menunduk, menepuk tepi satu sepatunya yang kotor sehabis dipijak Tomo.
Rotterdam mendecak. “Ya itu kan kalau kamu sendiri, atau berdua lah ya. Ini berempat?? Lagian kan udahku bilang, aku nggak bawa mobil, kenapa ngotot ikut pulang sih?!”
Reza balas mendelik, “Astagfirullah Dam, tadi sok dingin, sekarang udah marah-marah aja. Kamu datang bulan, ya? Berdiri coba, aku bantu lihatin, tembus apa nggak. Haris, sanaan dikit dong! Kejepit nih, aku.”
Rotterdam kembali memutar mata jengah. Mereka berempat, ia, Reza, Tomo, dan Haris—anak kelas sebelah yang datang dengan setusuk telur gulung penuh saus di tangan saat ketiganya sedang menunggu notifikasi ‘driver kamu telah sampai, jangan buat beliau menunggu terlalu lama!’ di depan kafe itu, mengatakan ‘eh, kalian? Mau pulang bareng, ya? Ikutan dong aku,’—kini duduk tenang di kursi belakang mobil ojek online yang Tomo pesan, meninggalkan sang abang terduduk di depan, sendirian.
Beberapa saat, hening. Rusuh dan ribut yang semula berkuasa itu bak hilang tahta, lengser diganti tenang. Rotterdam kembali termenung. Reza di kanannya bermain game offline viral—Adorable Home, Tomo di kirinya terus men-scroll turun timeline Instagram, dan Haris di ujung, yang sibuk memilah sound TikTok untuk ia hapus dari list favoritnya.
“Eh, Ris,” Rotterdam menoleh pada Haris yang langsung mendongak, menatapnya. “Kamu turun di mana, nih? Rumah aku udah nggak jauh. Kamu jangan ikutan turun di rumah aku, ya.” Fitur dua destinasi pada aplikasi ojek online tersebut jadi tidak dapat digunakan sebab Haris yang datang tiba-tiba.
“Perempatan sebelum rumah sakit aja, kamu tau kan?”
Rotterdam mengernyit.
“Tapi kalau bisa, depan Indomaret samping lampu merahnya sih, biar langsung lari ke dalam buat ngadem.”
Kerut di dahi Rotterdam semakin kacau, sedang sang abang tampak mencuri pandang pada keempatnya dari cermin mobil.
“Bukannya udah lewat, ya?” tanya Reza, nimbrung.
“Hah? Masa, sih?” Haris berseru.
Rotterdam memandang sangsi Haris, saat pemuda itu lanjut terkekeh.
“Yha, udah lewat…” Haris balas menatap Rotterdam, tersenyum dengan watados—wajah tanpa dosa—nya.
***
Melepas kasar ransel di bahunya, Rotterdam berjalan melalui coffee table ruang tamu dan mengulur kecil tangannya—isyarat untuk yang lain agar mengambil tempat duduk. Lelaki itu melirik kilas pada Haris yang ternganga, menengok sekitar, kemudian membuka suara, “aku ke atas sebentar, manggil Akkarena.” Sosoknya lantas berlalu menjauh, meninggalkan tiga lainnya yang berganti sibuk pada urusan masing-masing.
Rotterdam melangkah menuju satu pintu di ujung lorong lantai dua, berhenti tepat di depannya. Sebelah lengannya terangkat, Rotterdam mengetuk pelan paras kayu di hadapannya. “Ka?”
Hening. Tak ada jawaban.
“Akkarena?”
Hampir 5 menit tak kunjung mendapat respons, Rotterdam memutuskan untuk kembali ke ruang tamu dan berniat menghubungi yang dipanggilnya sedari tadi dengan ponsel yang ia tinggalkan bersama sang ransel pada sofa samping Tomo.
Di tengah jalannya menuju ruang tamu, Rotterdam berhenti kala maniknya tak sengaja menatap pada sosok wanita di pantry dapur, menunduk dan mencuci beberapa hal pada westafel di sana. “Ma?”
Wanita itu mendongak, tersenyum memandang Rotterdam yang berjalan mendekat; membuka lengan dan membawa yang lain masuk ke dalam dekapnya.
“Sayang…”
Rotterdam menenggelamkan wajahnya jauh pada ceruk leher yang lebih pendek, menghirup dalam aroma sang ibu yang hanya dapat ia rengkuh 2 kali setiap 365 harinya.
“Mama masak?”
Tersenyum lembut, sang wanita mengangguk, menghadirkan binar terang pada pasang manik Rotterdam. Ibunya sedari dulu memang jarang berada di rumah, berakhir membuatnya lebih sering makan makanan buatan Bu Murni, pemilik kedai nasi Padang depan rumah.
“Mau masak coto, favorit dua kesayangan Mama,” setia dengan senyumnya, ia menatap lembut Rotterdam yang tersenyum tak kalah lebar, seolah hendak menyobek masing ujung mulutnya.
“Mama pulangnya kapan? Tadi siang?”
Yang tua mengelus lembut ubun yang lain, kembali mengangguk. “Yang di ruang tamu teman kamu?”
Rotterdam melepas pelukannya. “Teman Adek. Mau ketemu sama dia sebenarnya, tapi kayaknya belum pulang. Aku baru aja mau nelpon, mau nanyain dia latihannya masih lama atau nggak.”
Bersama Rotterdam yang usai dengan kalimatnya, pandangan si wanita ganti serius. Rautnya berubah tegas dengan lekat tangannya pada lengan atas Rotterdam yang terlepas.
Hening. Hangat yang semenit lalu setia merengkuh keduanya hilang secara tiba-tiba, meninggalkan ruang kosong, yang dengan cepat diisi dingin.
“Kaya bilang, akhir-akhir ini kamu suka nggak fokus pas latihan.”
Rotterdam menunduk singkat, sebelum kemudian kembali menatap manik gelap sang ibu. Ibunya sudah pasti menyusul ke tempat timnya sering berlatih saat tak mendapati satu dari skateboard yang masing-masing adalah empunya dan milik Akkarena, di tempat biasa benda itu diletakkan; depan tangga, di lantai dua. Hal yang terjadi selanjutnya? Kaya, senior sekaligus pelatihnya, memberitahu sang ibu tentang ia yang tak lolos seleksi saat Akkarena justru berhasil lolos.
“Internasional lho, Rotterdam.”
Rotterdam kembali menunduk. Pikirannya campur aduk.
“Kamu bilang kamu bakal unggul, dari semuanya. Dari Akkarena, dari siapapun.” Sang ibu menghela napas pelan. “Tapi sampai sekarang, kamu aja nggak pernah lebih unggul dari adik kamu.”
***
Rotterdam memandang kosong lockscreen dengan wallpaper Saiki Kusuo itu, menampilkan waktu terkini di bagian atas dan deret angka yang menunjukkan tanggal, tepat di bawahnya.
Ia ingat sewaktu kecil, ia banyak bicara pada sang ibu. Tentang ia yang akan selalu ada untuk Akkarena, ia yang akan berubah menjadi pahlawan super kuat dan melindungi Akkarena saat adiknya itu ada yang mengganggu. Atau tentang kalimat 7 kata yang ia katakan tepat saat ia berganti umur yang ke-7, ‘Aku bakal unggul dari semuanya, termasuk Akkarena,’—saat pertama kali ia menaruh dirinya di atas semua hal. Mengesampingkan Akkarena, dan hanya memikirkan tentang ia, dirinya, tentang Rotterdam.
‘Tapi sampai sekarang, kamu aja nggak pernah lebih unggul dari adik kamu.’ Namun nyatanya, Akkarena bukan seorang yang mudah untuk dikalahkan. Adiknya itu seolah diasuh oleh rasa juang, dan hidup bersama jiwa kompetitifnya.
Drrt… drrt… drrt…
Ponsel di tangannya bergetar. Rotterdam menekan tombol hijau pada layar, yang seketika mengubah tampilan telepon masuk menjadi gambar seseorang di ujung lain.
“Pagii.”
Tak menjawab, Rotterdam memandang lekat paras sosok yang tengah berada di panggilan video bersamanya tersebut, mengabaikan sapaan yang sempat terlontar beberapa saat lalu.
“Babe, kok ngelamun sih? Kamu nggak kangen aku?”
Tersadar, Rotterdam mengernyit—ngeri. “Takut, tau nggak?”
Yang ditanya balik mengernyit, “ih kok kamu marah, sih?! Aku kan cuman nanya!”
Rotterdam melotot. “Ka, berhenti nggak? Lagian, kamu ngapain sih nelpon pagi-pagi?”
Akkarena tampak memutar mata, jengah. “Galak banget, harusnya aku yang takut.”
“Cepetan, mau ngomong apa?”
Akkarena di ujung sana tersenyum. “Semangat lombanya.”
Kernyit di kening Rotterdam perlahan luntur. Raut risih yang semula tercetak jelas lambat memudar, berganti datar.
“Mainnya tenang aja, jangan sampai luka. Kalau kamu sakit, nanti Mama kasian, ngurusin orang sakitnya dua.” Ia terkekeh kecil di akhir.
Rotterdam mengedip cepat merasa matanya yang perih. Hidung dan pipinya yang putih berubah merah, menahan sesuatu yang seolah memaksa untuk keluar.
“Ciee, hidungnya meraaah. Nggak apa-apa, nangis aja, Dam. Nih, bahu aku.” Akkarena di kamera sedikit menyingkap selimut putih yang sedari tadi membalut seluruh bagian tubuhnya—terkecuali muka, menyodorkan sebelah bahunya kepada Rotterdam, bermaksud memberi sandaran untuk dipakai menangis.
“Apaan, sih? Lagi sakit juga, istirahat sana. Aku matiin, kamu nggak jelas.”
Pip. Memutus sambungan teleponnya secara sepihak, Rotterdam meremas pelan surai hitamnya, menunduk, menatap lantai marmer di antara kakinya. Ia bukan orang yang emosional. Namun gundah dan resah yang ada, membuatnya seolah tak dapat bernapas hari ini.
‘Hasil PCR Akkarena positif, pelatih sepakat kamu yang gantiin dia, Dam.’
***
Rotterdam memandang penuh binar. Irisnya yang biasa menatap datar itu kini menilik cerah, seolah siap untuk menceritakan setiap hal yang terjadi di dunianya. “Part paling keren, ada fasilitas vending machine gratis.”
Sang ibu di sudut lain menarik sendu ujung bibirnya, tersenyum.
“Aku inget banget, kamu dulu sering minjem uang Tomo buat jajan Coca-Cola di vending machine depan sekolah.” Rotterdam terkekeh singkat. “Terus Tomo di samping mesinnya berdiri sambil ngomel-ngomel karena kamu minta temenin, padahal jelas-jelas dia ada jadwal Kumon waktu itu.”
Desah pelan dari bibirnya terdengar berat. “Sampai sekarang juga masih sama. Tomo masih super sibuk sama les-les dia. Kalau Reza,” Rotterdam beralih menatap Reza yang terkesiap dipandang lelaki kelahiran Rotterdam tersebut. “—Dia ada teman baru. Namanya Haris, hobinya jajan cilok sama bumbuin telur gulung. Akhir-akhir ini, Haris juga udah nggak sering buka dan scroll FYP TikTok lagi, dia sibuk ngurusin 11 kucingnya, setelah Reza nyuruh download game, yang kamu dulu juga sering main, Adorable Home.”
Rotterdam menarik napas panjang sehabis kalimatnya. “Tapi kamu tau gak, Tomo yang super sibuk, Reza yang sering gabut tapi kalau diajakin keluar rumah suka nolak, dan Haris yang belum sempat kamu ajak bicara tentang resep bumbu cilok paling nikmat itu, ada di sini.”
Rotterdam sedikit mendongak saat setitis air jatuh tepat di atas tautan jemarinya yang saling mendekap. Ia menatap ke arah bagian yang basah tersebut, sendu. Hujan.
“Mama-Papa, yang paling sering kamu sebut pas ngomel karena pulangnya lama banget, padahal kamu udah kangen mampus itu, juga ada di sini hari ini.” Rintik hujan turun semakin ribut, lambat membasahi tubuh ringkih di bawah langitnya.
Rotterdam menghela napas pelan. Satu hal, yang sangat ingin ia sampaikan, “Aku menang, Kak.” Sesak, begitu sempit, seolah ada sepasang tangan dengan masing jemari yang mencekiknya kencang. Rotterdam menggigit pelan bibirnya yang terhalang masker, menahan isak yang berlomba keluar. “—Medali perunggu, cabang skateboard, kejuaraan internasional.” Kedua tangannya yang saling menggenggam itu semakin erat bertaut, cenderung meremas. Mungkin akan terlihat ungu saat masing sarung tangan yang membungkus itu dibuka.
“Sayang,”
Rotterdam berbalik, memandang sang wanita yang berdiri dengan sebelah tangan menggengam payung dan yang lain bergerak mengelus surainya.
“Gerimis. Ayo pulang.”
Rotterdam menatap pada beberapa orang dengan alat pelindung diri lengkap—sama seperti dirinya—yang berdiri di sekitaran. Sejenak balik memaku pada satu titik yang sedari tadi ia tatap, Rotterdam berkedip pelan saat pandangnya terasa kabur, membasahi pipinya dengan tetes bening yang turun dari ujung netranya.
“Ayo, Ma.” 10 detik membisu, lelaki itu berdiri, berlalu meninggalkan makam Akkarena yang masih basah, diguyur hujan Kota Makassar, sore itu.
Kak, aku menangis karenamu. Ada gerimis yang sebentar lagi menderas di mata Rotterdam, di antara hujan yang mengguyur.***