Oleh: Aliyah Salsabila Rauf
Suara gemuruh disertai bunyi guntur datang pagi ini, hujan lebat kini membasahi Makassar. Mungkin semua remaja masih di alam mimpinya masing-masing, begitu pun dengan si Kembar. Tapi, Zasya terbangun ketika mendengar suara langkah kaki menuju ke kamarnya. Sudah 1 jam waktu Zasya menunggu untuk mengetahui langkah kaki siapa yang sedang ke mari, apa boleh buat, hujan lebat, bunyi guntur dan suara gemuruh makin besar sehingga suara langkah kaki itu tidak terdengar lagi. Alhasil, Zasya memilih untuk melanjutkan mimpinya.
“Astaghfirullah kakak, adek, sekarang udah jam 9 kenapa kalian masih tidur!”
“Loh cepat banget bunda jam 9, perasaan tadi Zasya bangun masih jam 4.”
“Itu karena hujan, Kakak.”
“Bunda, sekarang hari libur kenapa bunda bangunin kita?” ucap Mora.
“Hari libur bukan berarti waktu untuk bermalas-malasan ya, dek.”
“Udah deh, Mor, jangan bikin emosi bunda pagi-pagi.”
Bunyi guntur ditambah dengan bunyi hujan lebat ternyata seseram itu, langit masih gelap, bahkan sangat gelap. Bikin malas kan untuk melakukan aktivitas jika keadaan seperti ini? Bukannya mau memalaskan diri, tapi suasana seperti ini enak banget buat tidur lagi. Aku dan Mora saat ini duduk merenung, tapi lebih tepatnya mengumpulkan nyawa dulu sebelum membersihkan rumah.
***
Cahaya matahari sudah muncul, awan jahat sudah pergi. Pukul 13.00, sekarang waktunya memulai aktivitas masing-masing, membersihkan rumah selesai. Sangat untung bukan, bunda mempunyai anak kembar yang tidak malas walaupun sering bertengkar. Sifat ku berbeda dengan Mora, bertolak belakang. Tapi ada juga kesamaan yang kami miliki, seperti rajin, pintar, tidak suka basa-basi, dan tentu saja cantik. Entah apa yang bunda ngidam kan waktu mengandung kami.
“Kak, kita harus ke sekolah sekarang!”
“Siang gini? Dengan cuaca sekarang yang panas banget? Yang nyuruh ke sekolah siapa?”
“Kepala sekolah yang nyuruh, kakak.”
“Loh, tiba-tiba?”
“Mungkin ada sesuatu yang penting?” ucap Mora.
Bisa jadi. Tapi mengapa harus ke sekolah saat hari libur gini? Mengapa juga harus aku sama Mora? Pertanyaan itu muncul dalam benakku. Melihat Mora yang sudah memakai pakaian, aku pun segera mengganti baju juga. Setelah 5 menit, izin sama bunda, ayah. Dan untungnya, Pak Sam tidak diliburkan hari ini! Oh iya, Pak Sam itu sopir pribadi kami.
Ketika dimobil, aku sibuk memikirkan panggilan apa yang membuat kami harus datang ke sekolah saat cuaca panas seperti ini, tidak hanya aku yang keluar, banyak kendaraan berhamburan disini. Sedangkan Mora, saat ini sedang bicara sama para fans-nya. Biasanya ke sekolah tidak selama ini, 25 menit sudah sampai. Tapi mengapa ini hampir 1 jam? Semua manusia yang keluar sekarang ada keperluan mendadak? Seperti kami berdua? Mungkin. Sebaiknya tidur saja.
***
“Asya! Mora!”
“Loh? Kalian juga dipanggil sama Kepala sekolah?” tanyaku.
“Iya,” ucapnya kompak.
“Terus kalian udah ketemu sama Kepala sekolah?”
“Belum, karena kami tunggu lo berdua.”
“Yaudah ayo cepat masuk ke ruangan Kepala sekolah, udah terlambat banget ini waktunya.”
Ternyata tidak hanya kami berdua, Beby, Cley, Vendro, Kirei dan Kaizer. Mereka juga ada disini, kami ber-7 sudah sahabatan sejak Sekolah Dasar, dan berlanjut sampai sekarang, Sekolah Menengah Atas. Sudah tidak perlu diragukan lagi, mungkin sekarang kami dipanggil untuk perwakilan lomba dan olimpiade. Kaizer menatap ku seakan-akan khawatir padaku, aku balas dengan anggukan bahwa aku baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Tok tok tok
Hampir 3 minggu aku tidak sekolah, aku kira ada yang berubah dari sekolah ini, ternyata masih sama. Bahkan ruang Kepala sekolah pun masih persis sama, tidak ada perubahan. Setelah kami dipersilakan duduk, kami mendengar semua kata-kata yang terucap dari mulut Kepala sekolah. Well, tebakan ku benar. Tanggal 18 nanti akan ada olimpiade Internasional dan tanggal 18 juga akan ada lomba Nasional. Aku, Mora, Kirei dan Kaizer akan mengikuti olimpiade Internasional. Sedangkan Beby, Cley, dan Vendro mengikuti lomba Nasional. Sekarang tanggal 11, masih ada waktu 1 minggu untuk belajar, ini bukan lomba biasa. Tapi, olimpiade Internasional. Lawan-lawan nya juga pasti pada pintar.
Kaizer menatapku seakan-akan dia masih saja khawatir, kubalas dengan anggukan dan senyuman yang bisa membuat dia yakin bahwa aku baik-baik saja. Kaizer, dia yang paling tau tentang aku. Entah kenapa, aku sama Kaizer seakan-akan seperti abang adik. Dia tau sesuatu yang ada dalam diriku. Dia tau semua. Walaupun kembaran ku, Mora, dia hanya mengetahui setengah dari apa yang Kaizer ketahui.
“Za, kenapa melamun?”
“Eh, nggak kok, siapa yang melamun.”
“Mikirin olimpiade, kan?” tanya Kaizer.
“Nggak, mikirin kesehatan gue.”
“Jangan pikirin itu, waktu jeda olimpiade sisa 1 minggu, kita harus persiapkan yang terbaik buat juara.”
“Iya iya…”
Pertama kalinya aku menyembunyikan ini didepan Kaizer, waktunya belum tepat untuk dia tau. Oke, kita harus fokus sama olimpiade ini, Mora saat ini memanggil guru les kami, dia orang luar, orang Singapura lebih tepatnya. Tau kan Singapura negeri terpintar di dunia? Ya, pintar nya melewati batas. Bahkan, aku dan Mora hampir setiap hari kesal diajar sama dia. Untungnya aja dia baik. Kepala sekolah membebaskan kami bertujuh mau mengikuti pelajaran apa tidak, karena kita harus fokus sama lomba ini. Sangat ribet, bukan?
Kita harus pandai mengatur waktu dalam kegiatan seperti ini. 1 minggu dapat kita pergunakan dengan baik. Bangun pagi, melakukan rutinitas, belajar hingga siang, istirahat bentar, lanjut belajar lagi untuk lomba tersebut. Jujur, ini sangat capek. Aku hampir saja jatuh sakit lagi karena belajar terus. Aku harus jaga kesehatan.
***
15 September 2021, kami berempat dan juga guru matematika kami telah sampai di Singapura. Pada saat di pesaawat tadi, penyakit ku kambuh, untung saja tidak ada yang menyadari. Kenapa harus muncul saat kondisi seperti ini? Mungkin kata dokter kemarin benar. Aku harus memenangkan olimpiade ini karena mungkin ini yang terakhir kalinya aku mengikuti lomba. Pikiran ku sekarang sangat kacau. Jujur, yang tau penyakit ku hanya bunda, ayah, dan Kaizer.
Melihat muka ku yang tampak gelisah, Kaizer menghampiriku, seperti biasa dia menanyakan “Asya, lo beneran sehat, kan?” seandainya aku tau kondisi ku seperti ini, aku bakalan buat eksperimen yang bakalan berguna nanti untuk dunia, bukannya ikut olimpiade ini. Waktu tidak dapat diputar lagi, jalani apa yang sudah ditunjukkan. Setelah mengambil barang-barang, kami pergi ke tempat dimana kami akan makan, tidur, dan juga pastinya, belajar! 3 hari doang belajar di Makassar mana cukup!
“Ibu yakin kalian berempat pasti bakalan menang!”
Sangat berbeda dari penjelasan guru les aku, guru matematika ku mengajarkan kami cara yang sulit, aku dan Mora saling bertukar pandang, kalau ada cara yang gampang kenapa harus yang susah, mungkin itu yang terpikir dipikiran kami berdua. Setelah hampir 2 jam belajar, kami diberi waktu istirahat dulu.
Perjalanan yang sia-sia jika kami tidak memenangkan olimpiade ini. Dan juga sangat membanggakan jika kami memenangkan olimpiade tersebut, aku hanya ingin memenangkan itu, tidak ada yang lain. Membanggakan orang tua juga guru-guru. Ini kesempatan terakhir ku mengikuti ini. Tapi, aku juga harus sadar penyakit ku makin hari makin parah.
***
“GILA!!! Tempat nya gede bangettt!”
“Foto-foto yuk, jadi kenangan nanti!!!”
Bagus juga pemikiran kembaran ku, haha. Tapi emang benar tempat dilaksanakan olimpiade ini besar banget, banyak peserta. Melihat sekeliling, muka orang semua pada keliatan pintar banget deh jadi gak yakin aku bisa juara. Oke, tidak apa-apa kalau tidak menang, yang penting hari ini harus menjadi hari yang sangat spesial bagiku. Beberapa hari yang lalu, penyakit ku kambuh, aku khawatir nanti kalau menjawab soal gimana kalau tiba-tiba kambuh. Aku sudah minum banyak obat tapi tetap saja nanti pasti kambuh.
Setelah melakukan instruksi dari pembina, kami memasuki ruangan dan duduk ditempat yang sudah disediakan. Cari nama kalian yang tertera dikursi dan meja. Setelah melihat instruksi tersebut, aku pun mencari nama Zasyashy Nikels. Wah, tempat duduk ku dengan Mora sangat jauh, aku sekarang bersampingan dengan Kaizer. Entah kenapa harus dia yang disamping ku sekarang.
“Tidak menjawab 1 soal, nilainya 0, jawaban salah, maka -1,” ucap wanita tersebut.
Soal 50 nomor waktu 1 setengah jam. Gila! Tapi tidak apa-apa karena aku sudah belajar juga sebelumnya, ruangan itu hening, hanya ada suara kertas dan pulpen. Semua melakukan nya dengan tenang, di ruangan ini mungkin semua pintar. Kaizer, Kirei, dan juga Mora sangat fokus mengerjakan soal ini. Aku juga fokus, tapi, takut kalau penyakit ku tiba-tiba kambuh. Oke mari kita lupakan persoalan penyakit, aku harus fokus dengan soal ini, waktu terus berjalan.
40 menit berlalu. Yang sudah aku kerjakan 34 nomor, ini benar-benar soal diluar dugaan kami semua. Untung saja materi ini diajarkan sama guru les aku, seandainya tidak, aku akan kebingungan. Tapi sama saja, tidak menjawab soal poin nya 0 doang, jadi kita harus berhati-hati kalau mau menjawab, salah maka -1. Semua aku kerjakan menggunakan metode cepat. Aku melihat Mora yang sedang serius saat ini, beberapa siswa diruangan ini mulai terlihat gelisah, mungkin karena soal yang tidak disangka akan keluar disoal ini.
***
“Soal tadi, wow! Kaget tapi yaa bagus sih bisa gue kerjain sebagian,” ucap Mora.
“Lebih baik gak jawab soal kan daripada salah.”
“Menurut gue sih begitu. Tapi tadi gue liat pas mau akhir kan, semua siswa diruangan itu gelisah tau.”
“Udah deh, ayo ke tempat pengumuman pemenang, siapa tau ada dari kita menang.”
Ratusan siswa telah berkumpul masing-masing sama gurunya. Muka-muka kecewa, takut, bangga, bahagia, bermacam-macam deh saat ini ekspresi orang. Aku? Aku daritadi hanya menahan rasa sakit yang tiba-tiba datang lagi. Kali ini sakit nya tidak seperti biasa nya. Ada perasaan mau muntah, punggung mulai sakit, dan juga lumayan demam.
“Hi, everyone! Nice to meet you all.”
Hanya itu yang aku dengar, aku sudah tidak tahan lagi sama perut ku kali ini. Aku izin sebentar ke wc. Mora ingin ikut, tapi aku hanya bilang mau cuci muka doang sumpek habis ingat soal tadi. Gilaa suara mic-nya masih kedengaran sampai wc. Lucu banget, tadi pas diluar sebelum ke wc pengen banget muntah, pas udah di wc malah tidak muntah, dipaksa juga gak bakalan keluar.
Saat keluar dari wc, aku melihat Mora berdiri diatas panggung itu. Ternyata dia juara 2! Pintar memang kembaran ku ini. Aku pun kembali duduk samping Kirei dan Kaizer. Oh iya, soal Beby, Cley, dan juga Vendro. Mereka bertiga juara 1. Sahabat aku emang pada pintar dan berprestasi jadi tidak salah kalau mereka juga juara. Ya mereka lomba nya berkelompok, tidak seperti olimpiade ini. Aku bangga melihat kembaran ku berdiri disana, andaikan aku juga menjadi juara 1, aku pasti sangat bangga.
“Kirei, juara 1 nya belum diumumkan?”
“Belum, Za. Tunggu aja pasti sih lo yang bakalan naik.”
“Apaan, gue aja tadi ngasal jawab.”
Tubuhku tiba-tiba gemetar, keringat dingin, seakan-akan ini tanda-tanda terakhir ku hidup. Kapan sih diumumkan yang juara 1 siapa, kata-kata itu menghantui pikiran ku saat ini. Tidak tahu ini perasaan aku doang apa gimana, tapi aku rasa daritadi ada yang perhatikan aku. Kirei sama Kaizer malah fokus sama hp nya. Guru matematika ku jauh dibelakang makan. Betapa anehnya hari ini bagiku.
“And the winner is…. Zasyashy Nikels! Congratulations to you!”
SEE?! Aku menang! Perjalanan ku ternyata tidak sia-sia. Senang banget bisa jadi juara untuk terakhir kalinya, aku melihat Mora dipanggung itu sangat bahagia, Kirei dan Kaizer juga turut bahagia. Aku pun pergi ke panggung tersebut, dari ratusan siswa disini aku jadi juaranya! Aku benar-benar bangga sama diriku sendiri.
“Please give her a round of applause!”
Plok plok plok
Suara yang sangat ramai, aku bangga bisa memenangkan olimpiade terakhirku. Pada saat sesi foto, aku hanya bisa senyum melihat ke kamera cuman 1 kali, saat fotografer nya mengatakan ‘free pose, one… two… what’s wrong with her?!’ yap, dia bertanya seperti itu karena aku. Aku sudah tidak tahan lagi menahan rasa sakitnya, ternyata benar, ini hari terakhir ku di dunia ini, aku bangga bisa memenangkan olimpiade ini, prestasi ku sudah cukup sampai disini, aku sangat bangga! Tidak sia-sia aku belajar dan melawan rasa sakitku selama ini, nyawa ku sudah diambil Tuhan, pengobatan yang rutin aku kerja itu hanya sia-sia, tujuan ku hanya ingin membanggakan diriku didepan semua orang bahwa aku juara 1 olimpiade matematika ini. Momen yang sangat berharga dan akan ku kenang terus.
***